Di kota mereka hidup di kontrakan seadanya. Sukses bagi mereka adalah kalau bisa membangun atau memperbaiki rumah, atau membeli sawah di kampung. Kalau Lebaran, mereka ramai-ramai pulang.
Pemerintah daerah menyambut mereka bak pahlawan. Daerah itu kini terlihat maju dan makmur, dari uang yang dicari di kota dan di luar negeri.
Baca Juga:
Arnod Sihite Dilantik Ketua Umum PTSBS Periode 2024-2029: Ini Daftar Lengkap Pengurusnya
Batak tidak seperti itu. Kalau sukses di Bandung, ya bikin rumah di Bandung. Kalau perlu kawin dengan orang Bandung, nanti dikasih marga. Sukses di Pontianak, ya bikin rumah di Pontianak.
Ya, kadang memperbaiki atau membangun rumah untuk orangtua di kampung. Tapi kalau orangtua sudah tiada, rumah itu sering jadi kosong.
Batak generasi anak-anak mereka lebih jauh lagi. Mungkin kenangan dan pemahaman mereka tentang orang Batak dan Tano Batak hanya sebatas ompungnya.
Baca Juga:
Arnod Sihite Resmi Pimpin Parsadaan Toga Sihite Boru Sedunia, Fokus Lestarikan Budaya Batak pada Generasi Muda
Betapa tercengangnya kita melihat anak-anak muda Batak di kota-kota saat ini. Masih muda-muda, pintar-pintar. Banyak sekali, di segala bidang.
Ya, karena umumnya keluarga Batak sangat mengejar pendidikan.
Suatu ketika, dalam pertemuan non-formal aktifis penyandang disabilitas, di sebuah café kopi, di Tebet, saya bertemu dengan seorang boru Sirait. Cantik, tidak kelihatan boru Batak. Umurnya baru 26 tahun, S2 dari Inggris, kerja di Bappenas, menangani bidang MDGs (pembangunan berkelanjutan) kalau tak salah, yang juga menyangkut disabilitas.