Respons lainnya adalah penyelesaian masalah secara pribadi seperti menghadapi sendiri, menegur, melakukan diskusi, melancarkan serangan balik, bercerita ke kerabat, dan menuangkannya ke dalam tulisan atau artikel.
Dengan maraknya kekerasan terhadap jurnalis perempuan di Indonesia, peneliti mengatakan perlu ada upaya khusus yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti jurnalis, asosiasi jurnalis, organisasi media, dan asosiasi perusahaan media untuk mengatasi masalah ini.
Baca Juga:
Atnike Nova Sigiro: Foto Jurnalistik Bantu Upaya Penyelidikan Dugaan Pelanggaran HAM
Institusi lain yang perlu terlibat untuk mengakhiri kekerasan terhadap jurnalis perempuan adalah Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
“Secara nasional, kita perlu mendorong pemerintah segera membuat protokol tertulis tentang perlindungan jurnalis perempuan sebagai bagian dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Sampai saat ini belum ada regulasi khusus untuk melindungi jurnalis perempuan,” tulis peneliti.
Panduan atau protokol ini idealnya menyasar kebijakan struktural dan organisasi sehingga menjadi payung hukum dan menerapkan sanksi yang tegas. Selain itu, panduan juga dapat berisi ajakan bagi jurnalis laki-laki untuk turut mencegah kekerasan terhadap jurnalis perempuan, yang berbasis kultur misoginis dan menormalkan pelecehan.
Baca Juga:
Sekretariat Kabinet Gelar Pelatihan Penerjemahan Teks Jurnalistik
“Yang tidak kalah penting, kesadaran warga umum, baik narasumber maupun bukan, untuk menghargai jurnalis perempuan perlu terus ditingkatkan,” papar peneliti. [As]