HumbangNews.Id | Berbagai cara terus dilakukan oleh pemerintah guna meningkatkan ekonomi petani, salah satunya dengan mendorong peremajaan sawit rakyat (PSR).
PSR perlu dan harus segera dilakukan, mengingat tidak sedikit lahan petani yang saat ini tanamannya sudah banyak yang tua, dan tidak sedikit juga petani yang saat menanam menggunakan benih tidak bersertifikat atau menggunakan benih asalan.
Baca Juga:
Pemerintah Gelontorkan Rp8,5 Triliun untuk Peremajaan Sawit dari 2017 hingga 2023
Hal tersebut menggema saat Webinar & Live Streaming "Dampak Positif Program PSR, Sarpras & Pengembangan SDM"yang diselenggarakan oleh Media Perkebunan dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan), Hendratmojo Bagus Hudoro mengungkapkan, bahwa PSR tidak hanya mengganti tanaman yang sudah tua atau terlanjur tertanam menggunakan benih asalan dengan tanaman baru yang memnggunakan benih bersrtifikat.
“PSR dilaksanakan untuk meningkat meningkatkan ekonomi petani. Sebab PSR dilaksanakan, selain menggunakan benih bersertifikat juga untuk memperbaiki tata kelola yang baik sesuai dengan good agruculture practices (GAP),” papar Bagus.
Baca Juga:
Bantuan PSR Rp 90 Miliar untuk Petani Sawit Sanggau Masih Proses Verifikasi
Bagus memaparkan total luas perkebunan kelapa sawit mencapai 16,38 juta hektare (ha). Dari angka tersebut, luar perkebunan milik petani mencapai 6,94 juta ha. Dari ttotal luar perkebunan milik petani yang berpotensi untuk dilakukan PSR mencapai 2,8 juta ha, dan target tahun 2021 mencapai 180 ribu ha.
“jadi target peremajaan dari tahun 2020 hingga 2022 yakni; Sumatera seluas 397.200 ha, Jawa seluas 6.000 ha, Kalimantan seluas 86.300, Sulawesi seluas 44.500 ha, dan Papua seluas 6.000, sehingga totalnya 540.000 ha,” urai Bagus.
Namun, untuk mendorong PSR dengan target 180.000 ha setiap tahunnya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada berbagai kendala yang dihadapi. Diantaranya mulai lahan petani yang diduga masuk daerah kawasan, sertifikat lahan yang sudah tergadai ke pihak perbankan hingga petani yang enggan melakukan peremajaan.
“Contohnya seperti saat ini dimana harga tandan buah segar (TBS) yang cukup tinggi sehingga enggan untuk mengganti tanamannya dengan alasan sayang jika buah lagi tinggi tapi diganti dengan tanaman yang baru,” tambah Bagus.
Selain itu, lanjut Bagus, untuk mendorong PSR akan cepat terrealisasi maka dikeluarkanlah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 3/tahun 2022 , dimana dalam Permentan tersebut Dinas Kabupaten bisa melaporkan langsung ke BPDPKS untuk dilakukan peremajaan.
Sebelumnya, Dinas Kabupaten harus memerikan laporannya ke Dinas Provinsi, lalu ke Ditjen Perkebunan Kementan, baru ke BPDPKS. Tapi dengan adanya Permentan tersebut petani tinggal lapor ke Dinas Kabupaten, dan Dinas Kabupaten bisa langsung ke BPDPKS.
Untuk mempercepat PSR juga dibuat jalur pengusulan baru yaitu kemitraan. Kelembagaan pekebun melakukan kemitraan dengan perusahaan perkebunan dan langsung mengusulkan kepada BPDPKS tanpa lewat Dinas. Tahun 2020 jalur dinas ditargetkan 100.000 Ha, kemitraan 80.000 Ha.
Direktur BPDPKS Sunari menyatakan saat ini aturan rinci pengajuan jalur kemitraan sedang dirancang lewat Peraturan Dirut BPDPKS. Semua upaya ini dilakukan agar semakin banyak menjangkau pekebun.
“BPDPKS bersama stake holder lainnya berusaha mempercepat realisasi PSR juga program lainnya seperti sarana dan prasarana dan pengembangan SDM tetapi tetap dengan tata kelola yang baik agar target tercapai,” katanya.
Dari PSR diharapkan meningkatkan produktivitas dan kualitas TBS; penerapan praktik perkebunan yang baik (GAP) dan memperbaiki tata ruang perkebunan. Total realisasi PSR 2016-2021 adalah luas 242.537 Ha, jumlah pekebun 105.684 orang, dana tersalur Rp6,59 triliun.
Sedang program sarpras tahun 2021 4 lembaga pekebun dengan dana Rp21,1 miliar. Sedang program pengembangan SDM 9.769 peserta pelatihan dan beasiswa 3.265 mahasiswa. Dana tersalur Rp199,01 di 21 provinsi. [As/qnt]