HumbangNews.Id | Hadir dari cerita cinta yang terlarang: Di berbagai tempat di dunia sejak zaman dahulu kala, tongkat mungkin bisa dibilang menjadi senjata sakral atau kekuatan bagi pemimpin kerajaan hingga orang-orang yang memiliki kekuasaan.
Seperti bagi masyarakat Batak Toba, yang memiliki kepercayaan terhadap tongkat sakti bernama Tunggal Panaluan.
Baca Juga:
Arnod Sihite Dilantik Ketua Umum PTSBS Periode 2024-2029: Ini Daftar Lengkap Pengurusnya
Ya, Tunggal Panaluan merupakan tongkat sakti yang memiliki panjang kurang lebih 150 hingga 200 meter dari suku Batak Toba, dipercaya sebagai tempat bersemayamnya roh para leluhur, di mana tongkat ini memiliki kekuatan magis yang dapat menyembuhkan orang sakit, mengusir wabah, menjaga rumah, memanggil hujan sampai mendatangkan berkah.
Menurut beberapa legenda dan catatan yang didapat, tidak boleh sembarang orang yang memiliki tongkat sakti satu ini.
Hanya orang-orang terpilih yang bisa “memegang” atau memiliki tongkat ini, seperti para tetua adat (Datu) atau dukun.
Baca Juga:
Arnod Sihite Resmi Pimpin Parsadaan Toga Sihite Boru Sedunia, Fokus Lestarikan Budaya Batak pada Generasi Muda
Dalam pembuatannya sendiri, tongkat sakti suku Batak Toba ini dipercaya menggunakan ritual, sesajen dan proses penggarapannya pembuat harus berpuasa serta menggunakan bahan dari pohon khusus atau kayu tada-tada.
Nama Tunggal Panaluan sendiri diambil dari kata “tunggal” yang berarti satu dan “panaluan” yang berarti mengalahkan.
Banyak masyarakat suku Batak Toba percaya, jika memiliki tongkat ini maka mereka akan memiliki kekuatan, kekuasaan hingga disegani oleh orang-orang.
Kisah Tongkat Tunggal Panaluan
Ada beberapa versi sejarah mengenai legenda tongkat ini.
Pertama, konon pada masa lampau, raja suku Batak Toba memiliki anak kembar, laki-laki dan perempuan.
Di mana pada saat itu, kedua anak kembar Sang Raja bermain di hutan.
Namun, ketika matahari sudah ingin tenggelam, kedua anak ini belum juga pulang dari hutan tersebut, maka Sang Raja bergegas meminta bantuan Datu untuk membantunya mencari kedua anaknya.
Sesampainya di hutan, Sang Raja dan Datu melihat kedua anak kembarnya terperangkap salah satu pohon besar.
Ketika mencoba untuk mengeluarkan kedua anak Sang Raja, para Datu justru ikut terperangkap di pohon tersebut.
Banyak masyarakat setempat percaya, terperangkapnya kedua anak kembar Sang Raja karena mereka ingin berbuat hal yang terlarang.
Sehingga, alam pun murka dan membuat orang-orang yang menolong kedua anak raja tersebut ikut terjebak dalam pohon tersebut.
Para korban yang terjebak dalam pohon digambarkan pada ukiran wajah pada tongkat Tunggal Panaluan.
Cerita lainnya menjelaskan jika tongkat ini masih mengisahkan tentang cinta terlarang atau perkawinan sedarah pada masa lampau, namum bukan dari anak Sang Raja.
Melainkan, kisah Guru Hatia Bulan atau Datu Arah Pane dan Nan Sindak Panaluan yang selama kurang lebih delapan tahun tidak dikaruniai anak.
Ketika Nan Sindak Panaluan diketahui mengandung, Guru Hatia Bulan pun mengalami mimpi buruk, di mana dalam mimpi tersebut Nan Sindak Panaluan melahirkan bayi kembar laki-laki dan perempuan bernama Aji Donda Hatahutan Situan Parbaring dan Tapi Nauasan Siboru Panaluan di hari yang buruk, atau dalam mitologi Batak disebut Ari Sirangga Pudi.
Mengalami mimpi buruk tersebut, Guru Hatia diminta para tetua kampung untuk memisahkan kedua anak kembar mereka, namun dihiraukannya.
Hingga pada akhirnya, memasuki usia dewasa anak kembar tersebut, warga setempat melihat hubungan Aji Donda Hatahutan Situan Parbaring dan Tapi Nauasan Siboru Panaluan tidak seperti hubungan saudara, melainkan kekasih.
Dan dipercaya mereka telah melakukan tindakan terlarang atau hubungan intim satu darah.
Sehingga terjadi bencana melanda desa berupa kemarau panjang yang membuat tumbuhan, sawah tidak tumbuh dan mata air mengering. Kedua anak kembar Guru Hatia dan Nan Sindak pun akhirnya diusir dari desa, setelah para tetua adat bertemu kedua anak kembar tersebut.
Tidak lama berselang, hujan pun turun membasahi desa tempat Guru Hatia dan Nan Sindak.
Ketika dalam pengusiran, Aji Donda diminta untuk mencari buah di hutan oleh Tapi Nauasan Siboru Panaluan.
Namun sayangnya, saat menemukan sebuah pohon dan memetik buah segar, Aji Donda justru terperangkap di pohon tersebut.
Menunggu terlalu lama, Nauasan akhirnya mencari Aji Donda dan melihatnya terperangkap di dalam pohon.
Si Tapi Omas (nama lain Nauasan) bergegas menolong kakaknya tersebut, tetapi ia justru terperangkap bersama Aji Donda di pohon itu.
Di saat Aji Donda dan Si Tapi Omas terperangkap di pohon, anjing peliharaan Guru Hatia menemukan selendang yang digunakan oleh Si Tapi Omas dan membawanya ke Guru Hatia.
Melihat hal itu, Guru Hatia bersama para Datu mencari keberadaan Aji Donda dan Si Tapi Omas.
Ketika ditemukan, para Datu akhirnya mencoba menolongnya, nahas mereka justru ikut terperangkap dan Guru Hatia pun meminta bantuan kepada Datu Parpansa Ginjang yaitu tetua yang paling sakti.
Dengan membacakan doa disertakan tarian tor-tor dan sesaji, Datu Parpansa Ginjang berhasil menebang pohon tersebut.
Pohon inilah yang dijadikan bahan pembuatan tongkat Tunggal Panaluan dan ukiran yang ada pada tongkat sakti tersebut merupakan gambaran dari anak kembar pasangan Guru Hatia dan Nan Sindak.[as/bgr]